Kamis, 27 September 2012

Protein Gluten
 1. PENDAHULUAN
1.1.Tinjauan Pustaka
Protein adalah nutrisi yang penting dan juga memiliki sifat fungsional dalam pembuatan roti, dari tepung: oleh karena itu, kandungan protein dan kualitasnya merupakan karakteristik yang penting dari gandum. 

Ketika digiling, tepung dicampur dengan air untuk membuat adonan dimana protein terhidrasi dan terbentuk gluten, suatu substansi yang memiliki struktur kontinyu dan mempunyai sifat elastis dan tahan lama.Untuk keperluan pembuatan roti, sangat dibutuhkan gluten kuat dengan sifat dominan elastis; tepung untuk pembuatan roti biasanya digiling dari gandum, atau campuran dari gandum – gandum, memiliki kandungan protein tinggi merupakan kualitas yang baik. 

Untuk membuat biskuit, gluten lemah dengan sifat tahan lama sangat dibutuhkan, dan untuk keperluan ini gandum dicampur dengan protein rendah ( Herschdoerfer, 1986 ).
Struktur utama dalam protein adalah asam amino. Asam amino mempunyai satu gugus amino (─NH2) dan satu gugus karboksil (─COOH), rumus bangun :
H
|
R ─ C ─ COOH
|
NH2
Protein mempunyai massa molar yang besar, antara 5000 gr sampai 1x 107 gr. Massa dar protein mengandung elemen-elemen tetap yaitu : 50 –55 % karbon, hydrogen 7 %, oksigen 23 %, nitrogen 16 %, dan sulfur 1 % (Chang, 1991).

Fungsi dasar dari tepung gandum adalah gluten. Gluten memiliki sifat penting ketika ditambah air dan dengan kerja mekanik akan membentuk adonan elastis. Hal ini dibentuk oleh ikatan antar molekul protein. Ikatan tiga dimensi akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan diaduk, semakin banyak ikatan yang terbentuk. 

Dengan alasan inilah mengapa adonan diremas-remas jika menginginkan struktur yang kuat. Namun bagaimanapun juga lapisan gluten dapat pecah karena gerakan mekanik yang berlebihan seperti pengadukan atau peremasan yang berlebihan. Karakter dari adonan tergantung dari jenis tepung yang digunakan. Tepung rendah protein mengandung gluten yang rendah dan lapisannya mudah sobek (Potter & Hotchkiss, 1995).

Gluten adalah massa kenyal yang melengket yang menyatukan komponen-komponen roti lain seperti pati dan gelembung gas, jadi membentuk dasar struktur lunak roti. Kerusakan gluten karena bahang dapat terjadi karena suhu udara yang berlebihan pada pengeringan butir gandum basah. Gluten menjadi liat dan lebih sukar diekstraksi. Tepung gandum yang terdenaturasi karena bahang, menghasilkan roti yang tekstur dan volumenya jelek (deMan, 1997). 

Protein gandum atau terigu memiliki sifat yang istimewa karena dapat menghasilkan adonan yang dapat menahan gas dan dapat berkembang secara elastis ketika gas memuai pada waktu proses pembakaran. Sifat itu disebabkan sifat gluten yang terhidrasi dan mengembang bila tepung terigu dicampur dengan air (Winarno, 1997).

Faktor utama yang penting dalam ciri adonan adalah matrik gluten yang menyertakan granula pati dan fragmen serat. Protein gluten secara umum dicirikan dengan mempunyai kandungan proline dan asam glutamik yang tinggi. 

Gliadin dan glutenin berbeda dalam ciri fisik, khususnya dalam viskoelastisitasnya. Gliadin adalah kohesif, tetapi dengan elastisitas yang rendah, sementara glutenin dan keduanya kohesif dan elastis. Gliadin mengubah protein secara relatif rendah, berat molekuler dalam perbandingan dengan berat molekuler yang tinggi (HMW) dari fraksi glutenin (Pomeranz, 1988). 

Protein gluten kandungan glutaminanya tinggi, tetapi kandungan asam amino essensialnya, yaitu lisina, metionina dan triptofan rendah. Ketidaklarutan protein gluten berkaitan langsung dengan susunan asam aminonya. Aras rantai samping nonpolar yang tinggi disebabkan oleh kenyataan bahwa asam glutamat dan asam aspartat terdapat dalam bentuk amida. Karena senyawa ini tidak terionisasi, banyak terjadi ikatan apolar (hidrogen). Hal ini menyebabkan terjadinya agregasi molekul dan mengakibatkan kelarutan rendah (deMan, 1997).

Untuk mengaktifkan ikatan silang disulfida dan ikatan hidrofobik haruslah dilakukan perusakan struktur kuartener. Juga diperlukan perusakan sampai struktur tersier karena pada struktur tersierlah terdapat ikatan silang disulfida dan ikatan hidrofobik. Maka bila struktur tersier dipecah akan mengakibatkan kedua jenis ikatan tersebut bebas dan siap menggabungkan protein struktur sekunder dengan bahan lain yang ada di sekitarnya. 

Dan karena ikatan silang disulfida tidak rusak (hanya lepas) maka bisa mengalami renaturasi sehingga akan terbentuk struktur kuartener lagi namun sudah mengandung beberapa komponen lain (Quellette, 1994).
Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. 

Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. 

Kelemahan lainnya yaitu tidak semua jenis protein mengandung jumlah N yang sama. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjedahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein) karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan pirimidin. 

Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjedahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni) (Sudarmadji et al., 1996). Cara analisis Kjeldahl akan berhasil baik dengan asumsi N dalam bentuk ikatan N – dan N – O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina dan kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai N protein (Winarno, 1997).

Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung. Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. 

Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah nitrogren total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. 

Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator (Pomeranz & Meloan, 1987).

Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjehdahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata – rata 16% (dalam protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya, maka angka yang lebih tepat dapat dipakai. 

Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui maka jumlah protein dapat diperhitungkan dengan jumlah N x 100/10 atau jumlah N x 6,25. Untuk campuran senyawa protein yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, faktor konversinya adalah 6,25. Tetapi untuk yang sudah diketahui misalnya protein gandum = 5,70 (Sudarmadji et al, 1989).
Menurut Sudarmadji et al. (1996), ada 3 tahap analisa kadar protein menggunakan metode Kjedahl, yaitu:

· Tahap destruksi
Pada tahap ini, sampel dipanaskan di dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon menjadi CO dan CO2 sedangkan elemen hydrogen menjadi H2O. Nitrogen yang ada dalam bahan pangan tersebut akan menjadi ammonium sulfat. Khusus untuk protein yang kaya akan asam amino histidin dan triptofan maka memerlukan waktu lama dan sukar terdestruksi sehingga perlu dipakai katalisator selenium. 

Untuk mempercepat proses dertruksi sering ditambahkan katalisator beberapa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih capat. Tiap 1gram K2SO4 dapat menaikkan titik didih 3°C. Suhu destruksi berkisar antara 370 - 410°C. Reaksi yang terjadi :
HgO + H2SO4 ® HgSO4 + H2O
2 HgSO4 ® Hg2SO4 + SO2 + 2On
Hg2SO4 + 2 H2SO4 ® 2 HgSO4 + 2H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4 ® CO2 + H2O + (NH4)2SO4
· Tahap destilasi
Ammonium sulfate [(NH4)2SO4] biasanya digunakan karena merupakan zat yang mempunyai daya larut tinggi, meskipun garam netral lainnya seperti NaCl atau KCl mungkin digunakan untuk memaximalkan keefektifan pemisahan (Nielsen, 1998). 

Pada tahap destilasi ammonium sulfat dipecah menjadi NH3 dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selama destilasi tidak terjadi superheating atau timbulnya percikan cairan dan timbulnya gas maka ditambahkan logam Zn. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar, biasanya HCl dalam jumlah yang berlebihan. 

Namun sebenarnya standar larutan pengumpul ammonia yaitu asam borat 4% sehingga bisa terbentuk asam borat. Agar kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin di dalam asam. Destilasi diakhiri bila semua ammonia sudah terdistilasi sempurna yang ditandai dengan destilat tidak bereaksi basis.

· Tahap titrasi
Dalam prosedur Kjehdahl, protein dan komponen organik makanan lain dalam sampel dipecah dengan asam sulfat sebagai katalis. Total nitrogen yang ada ditunjukkan dengan jumlah amonium sulfat. Pemecahan dinetralisasi dengan alkali atau didistilasi dengan larutan asam borat. Hasil dari analisa ini merupakan jumlah kasar protein yang terkandung dalam makanan. 

Keuntungan dari metode Kjeldahl adalah dapat diaplikasikan untuk semua tipe pangan, relatif mudah, tidak mahal, akurat, dan telah dimodifikasi untuk mengukur kuantitas protein mikrogram. Sedangkan kelemahan metode Kjeldahl adalah mengukur nitrogen organik total tidak hanya nitrogen protein, presisi lebih buruk dibandingkan metode biuret, dan reagen korosif (Pomeranz & Meloan, 1987).

Methyl Orange mempunyai range pH 3,1 – 4,4 (asidimetri) dan pada peningkatan pH terjadi perubahan warna dari kuning ke merah. Methyl Red dengan peningkatan pH terjadi perubahan warna dari merah ke merah muda (Petrucci, 1987).

Tanaman banyak menyediakan protein dalam bentuk asam amino dan nitrogen yang diperlukan oleh tubuh manusia. Protein pada kacang-kacangan kaya akan asam amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan nak-anak kecuali lisin. Kedelai merupakan bahan panganh yang mengandung protein paling tinggi diantara semua sereal kedelai yang mengandung fosfolipid, isoflavon, vitamin, dan mineral (Pamela et al, 1988).

Kandungan Gizi Berbagai Jenis Kacang
Jenis
Protein
(g)
Lemak
(g)
Serat
(g)
Kalsium (mg)
Besi
(mg)
Kacang almond
Kacang mete (cashew nut)
Kacang tanah (peanut)
Kacang kastanye (chesnut)
Kacang kemiri (hazelnut)
Kacang makademia
Kacang pistasio
Kacang kenari (walnut)
20
15-17
26
3.2
14.8
7.6–8
19.7
14.4
55.2
49.2
50
2.2
61.4
76.2
50.6
69.2
8.8
5.9
-
12.9
10.4
6
9
6.4
235
34
-
29
86
48
90
89
3.5
5
-
0.9
3.2
1.8
3.9
2.5
( Anonim 2006 ).

1.2.Tujuan Praktikum
Tujuan dilaksanakannya praktum ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar protein pada bahan pangan nabati (kacang merah) maupun hewani (mujahir) yang dipengaruhi oleh berbagai proses pengolahan (mentah, goreng, rebus), mengetahui prinsip kerja penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl, serta membandingkan kadar gluten yang terkandung dalam tiap jenis tepung (terigu cakra, terigu kunci, pati) yang digunakan dalam konsentrasi yang berbeda-beda.

2. MATERI DAN METODA

2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain bekker glass, labu Kjehdahl, alat destilasi Kjeldahl, labu destilasi, erlenmeyer, mortar, alu, pipet tetes, pipet ukur, pompa, corong, timbangan elektrik, kain kering, buret dan statif.

2.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain terigu cakra, terigu kunci, pati, kacang merah, ikan mujair K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, Na2S2O3 4 %, NaOH 50 % dingin, Zn, HCl 0,1N, NaOH 0,1N, aquades, air hangat, dan aquades dingin.

2.2. Metoda
2.2.1 Gluten
Pertama-tama dibuat campuran adonan untuk masing-masing kelompok praktikum dengan perlakuan kelompok C1 adonan dibuat dari Terigu Cakra 100 % sebanyak 50 gram, kelompok C2 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 75% ditambah Terigu Kunci 15% dan pati 10%, untuk kelompok C3 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 50% ditambah Terigu Kunci 25% dan pati 25%, kelompok C4 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 25% ditambah Terigu Kunci 50% dan pati 25%, dan untuk kelompok C5 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 25% ditambah Terigu Kunci 25% dan pati 50%. 

Masing-masing perlakuan tersebut kemudian dicampur dengan aquadest sedikit demi sedikit sebanyak 10 ml hingga terbentuk adonan yang dapat dipulung dengan tangan. Adonan tersebut direndam dengan air hangat selama 30 menit didalam bekker glass

Kemudian adonan tersebut diremas-remas selama 10-15 menit hingga terbentuk gluten yang sempurna, lalu adonan dicuci hingga pati dalam tepungnya hilang. Setelah itu gluten tersebut dikeringkan dengan kain kering. Gluten tersebut diletakkan diatas kertas yang sudah diketahui beratnya terlebih dahulu, selanjutnya gluten diatas kertas tersebut ditimbang, dan kadar gluten dapat dihitung dengan rumus :

Kadar gluten = (berat gluten + kertas) – berat kertas x 100 %
berat sample

2.2.2. Analisa Kadar Protein (Metode Kjeldahl)
Sampel dari masing-masing kelompok dihaluskan sebanyak 0,25 gr, kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam labu Kjedahl dengan ditambah dengan 7,5 gr K2SO4, 0,35 gr HgO dan 15 ml H2SO4 pekat. Sampel yang digunakan yaitu kacang merah untuk kelompok C1, kacang merah goreng untuk kelompok C2, kacang merah rebus untuk kelompok C3, mujahir yang telah digoreng untuk kelompok C4, mujahir yang telah direbus untuk kelompok C5, dan juga blanko. 

Kemudian larutan tersebut dipanaskan di dalam ruang asam hingga jernih. Setelah larutan itu jernih, larutan tersebut didinginkan dan dipindahkan ke labu destilasi. Larutan tersebut dibilas dengan 100 ml aquades dingin, ditambahkan 0,2 gr Zn, 15 ml Na2S2O3 4%, dan NaOH 50% dingin. 

Pada erlenmeyer penampung destilat diisi dengan HCl 0,1N sebanyak 50 ml dan diletakkan dibawah kondensat dengan ujung kondensornya tercelup, kemudian dilakukan proses destilasi hingga dihasilkan 75 ml destilat. Larutan tersebut ditambah dengan indikator methyl red dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna kuning. 

Percobaan ini diulang lagi untuk perlakuan blanko. Kemudian volume titrasi dicatat dan % proteinnya dihitung dengan menggunakan rumus :
% N = vol NaOH ( blanko – sampel ) x N NaOH x 14,008 x 100 %
W sampel ( g ) x 1000
% Protein = % N x faktor konversi

3. HASIL PENGAMATAN
3.1.Kadar Gluten
Hasil analisa kadar gluten dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
KEL
BAHAN
BERAT GLUTEN
(gr)
KADAR GLUTEN
%
C1.
Tepung cakra 100 %
18,30
36,6
C2.
Cakra 75 % + kunci 15 % + pati 10 %
15,60
31,2
C3.
Cakra 50 % + kunci 25 % + pati 25 %
15,32
30,64
C4.
Cakra 25 % + kunci 50 % + pati 25 %
9,30
18,60
C5.
Cakra 25 % + kunci 25 % + pati 50 %
3,80
7,6

3.2. Kadar Protein
Hasil analisa Kadar Protein dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
KEL
BAHAN
VOL NaOH
% N
% PROTEIN
C1.
Kacang merah
21,7
3,25
17,745
C2.
Kacang merah goreng
22
3,08
16,817
C3.
Kacang merah rebus
26
0,84
4,586
C4.
Mujahir goring
13,5
7,84
49
C5.
Mujahir rebus
18,9
4,82
30,125

Blanko
27,5



4. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini adalah percobaan mengenai analisa kadar protein dan gluten pada berbagai macam tepung. Menurut Herschdoerfer (1986), protein adalah nutrisi yang penting dan juga memiliki sifat fungsional dalam pembuatan roti, dari tepung: oleh karena itu, kandungan protein dan kualitasnya merupakan karakteristik yang penting dari gandum. 

Ketika digiling, tepung dicampur dengan air untuk membuat adonan dimana protein terhidrasi dan terbentuk gluten, suatu substansi yang memiliki struktur kontinyu dan mempunyai sifat elastis dan tahan lama. 

Untuk keperluan pembuatan roti, sangat dibutuhkan gluten kuat dengan sifat dominan elastis; tepung untuk pembuatan roti biasanya digiling dari gandum, atau campuran dari gandum – gandum, memiliki kandungan protein tinggi merupakan kualitas yang baik. 

Untuk membuat biskuit, gluten lemah dengan sifat tahan lama sangat dibutuhkan, dan untuk keperluan ini gandum dicampur dengan protein rendah.

Kandungan Gizi Berbagai Jenis Kacang
Jenis
Protein
(g)
Lemak
(g)
Serat
(g)
Kalsium (mg)
Besi
(mg)
Kacang almond
Kacang mete (cashew nut)
Kacang tanah (peanut)
Kacang kastanye (chesnut)
Kacang kemiri (hazelnut)
Kacang makademia
Kacang pistasio
Kacang kenari (walnut)
20
15-17
26
3.2
14.8
7.6–8
19.7
14.4
55.2
49.2
50
2.2
61.4
76.2
50.6
69.2
8.8
5.9
-
12.9
10.4
6
9
6.4
235
34
-
29
86
48
90
89
3.5
5
-
0.9
3.2
1.8
3.9
2.5
( Anonim 2006 ).

4.1. Gluten
Pada percobaan ini, dilakukan penentuan kadar gluten. Menurut deMan (1997), pengertian dari gluten adalah massa kenyal yang melengket yang menyatukan komponen-komponen roti lain seperti pati dan gelembung gas, jadi membentuk dasar struktur lunak roti. Kerusakan gluten karena bahang dapat terjadi karena suhu udara yang berlebihan pada pengeringan butir gandum basah. Gluten menjadi liat dan lebih sukar diekstraksi.

Langkah awal yang dilakukan yaitu pencampuran ketiga jenis tepung tersebut dengan air. 

 Pencampuran ini bertujuan untuk mendapatkan adonan elastis yang dapat dipulung dengan tangan. menurut Potter & Hotchkiss (1995), gluten memiliki sifat penting ketika ditambah air dan dengan kerja mekanik akan membentuk adonan elastis. Hal ini dibentuk oleh ikatan antar molekul protein. Ikatan tiga dimensi akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan diaduk, semakin banyak ikatan yang terbentuk. Dengan alasan inilah mengapa adonan diremas-remas jika menginginkan struktur yang kuat. 

Namun bagaimanapun juga lapisan gluten dapat pecah karena gerakan mekanik yang berlebihan seperti pengadukan atau peremasan yang berlebihan. Karakter dari adonan tergantung dari jenis tepung yang digunakan. Tepung rendah protein mengandung gluten yang rendah dan lapisannya mudah sobek. Fungsi air disini digunakan untuk membentuk adonan supaya menjadi lebih baik. Fungsi utama air adalah untuk menghidrasi tepung sehingga dapat membentuk adonan yang baik. 

Air akan berikatan dengan protein membentuk struktur gluten dan dengan pati membentuk struktur tergelatinasi pada waktu pemanasan. Air ini juga berfungsi sebagai pelarut dari bahan – bahan lain seperti garam, gula, susu bubuk dan lain sebagainya. 

Banyaknya air yang ditambahkan dalam pembuatan adonan roti akan menentukan mutu dari roti yang dihasilkan (Marliyati & Sulaeman, 1999). Air yang digunakan dalam adonan terutama tergantung pada tingkat penyerapan air oleh tepung. Tepung yang berprotein tinggi akan mampu menyerap air lebih banyak daripada tepung protein rendah. 

Penambahan air yang berlebihan akan menyebabkan adonan lengket dan susah diolah, adonan menjadi sangat cepat mengembang dan roti yang dihasilkan basah, lembab dan gampang ditumbuhi oleh mikroorganisme. Sebaliknya kurangnya penambahan air menyebabkan adonan terlalu kering, keras dan tidak mengembang dengan baik selama proses pengadukkan, selain itu roti yang dihasilkan akan menjadi cepat basi dan mudah hancur (Matz, 1992).


4.2. Penentuan Kadar Protein
Tanaman banyak menyediakan protein dalam bentuk asam amino dan nitrogen yang diperlukan oleh tubuh manusia. Protein pada kacang-kacangan kaya akan asam amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan nak-anak kecuali lisin. Kedelai merupakan bahan panganh yang mengandung protein paling tinggi diantara semua sereal kedelai yang mengandung fosfolipid, isoflavon, vitamin, dan mineral (Pamela et al, 1988).

Percobaan penentuan kadar protein dengan bahan kacang merah dengan perlakuan digoreng dan direbus dan mujahir dengan perlakuan digoreng dan direbus dilakukan dengan metode Kjehdahl

 Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung. Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah nitrogren total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. 

Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator (Pomeranz & Meloan, 1987). Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjedahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein) karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan pirimidin. 

Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjedahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni) (Sudarmadji et al., 1996). Cara analisis Kjeldahl akan berhasil baik dengan asumsi N dalam bentuk ikatan N – dan N – O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina dan kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai N protein (Winarno, 1997).

Menurut Sudarmadji et al. (1996), ada 3 tahap analisa kadar protein menggunakan metode Kjedahl. Tahap pertama disebut tahap destruksi. Pada tahap ini, sampel dipanaskan di dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon menjadi CO dan CO2 sedangkan elemen hydrogen menjadi H2O. Nitrogen yang ada dalam bahan pangan tersebut akan menjadi ammonium sulfat. Khusus untuk protein yang kaya akan asam amino histidin dan triptofan maka memerlukan waktu lama dan sukar terdestruksi sehingga perlu dipakai katalisator selenium. 

Untuk mempercepat proses dertruksi sering ditambahkan katalisator beberapa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih capat. Tiap 1gram K2SO4 dapat menaikkan titik didih 3°C. Suhu destruksi berkisar antara 370 - 410°C. Hal ini sesuai dengan percobaan praktikum bahwa dekstruksi dilakukan pada ruang asam dengan jernih.

Tahap kedua disebut tahap destilasi. Ammonium sulfate [(NH4)2SO4] biasanya digunakan karena merupakan zat yang mempunyai daya larut tinggi, meskipun garam netral lainnya seperti NaCl atau KCl mungkin digunakan untuk memaximalkan keefektifan pemisahan (Nielsen, 1998). Pada tahap destilasi ammonium sulfat dipecah menjadi NH3 dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. 

Agar selama destilasi tidak terjadi superheating atau timbulnya percikan cairan dan timbulnya gas maka ditambahkan logam Zn. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar, biasanya HCl dalam jumlah yang berlebihan. Namun sebenarnya standar larutan pengumpul ammonia yaitu asam borat 4% sehingga bisa terbentuk asam borat. 

Agar kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin di dalam asam. Destilasi diakhiri bila semua ammonia sudah terdistilasi sempurna yang ditandai dengan destilat tidak bereaksi basis.hal ini sesuai dengan langkah percobaan praktikum bahwa HCL digunakan untuk menampung destilat.

Sebelum proses titrasi menggunakan NaOH, dilakukan penambahan Methyl Red. Penambahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan warna merah sebelum titrasi. Methyl Orange mempunyai range pH 3,1 – 4,4 (asidimetri) dan pada peningkatan pH terjadi perubahan warna dari kuning ke merah. Methyl Red dengan peningkatan pH terjadi perubahan warna dari merah ke merah muda (Petrucci, 1987).

Tahap terakhir yaitu tahap titrasi. Pada tahap ini, digunakan NaOH untuk titrasi. Titik akhir titrasi dapat dilihat dengan berubahnya warna merah muda menjadi kuning. Hal ini sesuai dengan teori Sudarmadji et al. (1996), apabila penampung destilat yang dipakai adalah asam klorida maka yang terbentuk adalah ammonium klorida sehingga harus dititrasi dengan NaOH (0,1N). 

Namun untuk metode standart, dipakai asam borat sehingga yang terbentuk adalah ammonium borat sehingga harus dititrasi dengan asam sulfur atau asam hidroklorik. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen nitrogen. Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada prosentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan.

Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya, maka angka yang lebih tepat dapat dipakai. Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui maka jumlah protein dapat diperhitungkan dengan jumlah N x 100/10 atau jumlah N x 6,25. Untuk campuran senyawa protein yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, faktor konversinya adalah 6,25. 

Tetapi untuk yang sudah diketahui misalnya protein gandum = 5,70 (Sudarmadji et al, 1989). Dari hasil percobaan, didapatkan % protein kacang merah adalah 17,745%. % protein kacang merah goreng adalah 16,817%. % protein kacang merah rebus adalah 4,586%. % protein mujahir goreng adalah 49%. Dan % protein mujahir rebus adalah 49%. Dari hasil ini dapat kita lihat 5 protein bahan alami lebih besar daripada 5 protein bahan yang telah mengalami perlakuan. 

Hal ini sesuai dengan teori dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjehdahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata – rata 16% (dalam protein murni).

Penggunaan metode Kjeldahl ini mempunyai keuntungan dan kekurangan. Keuntungan dari metode Kjeldahl adalah dapat diaplikasikan untuk semua tipe pangan, relatif mudah, tidak mahal, akurat, dan telah dimodifikasi untuk mengukur kuantitas protein mikrogram. Sedangkan kelemahan metode Kjeldahl adalah mengukur nitrogen organik total tidak hanya nitrogen protein, presisi lebih buruk dibandingkan metode biuret, dan reagen korosif (Pomeranz & Meloan, 1987).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kontrol Kualitas Makanan